PRANATA HUKUM SEBUAH TELAAH SOSIOLOGIS

PRANATA HUKUM Sebuah Telaah Sosiologis

PROF. Dr. Esmi Warassih.,SH, MS

 I. Hukum Sebagai Sistem Norma dan Fungsi – fungsinya

Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola – pola kebiasaan yang telah ada. Lebih jauh dari  itu, hukum telah mengarah kepada penggunaannya sebagai sarana untuk melakukan perubahan – perubahan dalam masyarakat semenjak Indonesia melakukan pembangunan disegala bidang, seperti yang terjadi pada jaman orde baru melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Hukum sebagai sarana ini telah tercetus pada hasil keputusan seminar hukum nasional ke III tahun 1974 di Surabaya sebagai berikut : “Perundang – undangan terutama dalam masyarakat dinamis dan sedang berkembang, merupakan sarana untuk merealisasi kebijaksanaan Negara dalam bidang – bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan pertanahan, keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dalam pembangunan nasional”.

Friedrich Karl Von Savigny menyatakan bahwa hukum itu merupakan ekspresi dari kesadaran hukum rakyat (Volkgeits). Sebaliknya, konsep hukum sebagai sarana berkait erat dengan perkembangan masyarakat yang didasarkan pada perencanaan, yaitu dengan melakukan pilihan – pilihan dari berbagai alternatif untuk mencapai tujuan – tujuan yang diharapkan.

Hukum merupakan suatu kebutuhan masyarakat sehingga ia bekerja dengan cara memberikan petunjuk tingkah laku kepada manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dari beberapa uraian di atas muncul beberapa problem sebagai berikut : (1) tujuan apakah yang hendak di wujudkan dalam hukum?, (2) fungsi apa saja yang dapat dilakukan oleh hukum ?, dan (3) bagaimana fungsi hukum itu dijalankan dalam kaitannya dengan sistem norma?.

Pengertian Hukum

Hingga sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan, hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk, sebagaimana diungkapkan oleh Lemaire, bahwa hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif.[1]

Kisch mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat dilihat atau ditangkap oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang memuaskan umum. Pengertian hukum perlu dikemukakan di sini sebagai titik tolak pembahasan selanjutnya.

  1. Hukum dalam arti ilmu;
  2. Hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang kenyataan;
  3. Hukum dalam arti kaedah atau norma;
  4. Hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis;
  5. Hukum dalam arti keputusan pejabat;
  6. Hukum dalam arti proses pemerintahan;
  7. Hukum dalam arti perilaku yang teratur;
  8. Hukum dalam arti jalinan nilai;

Menurut Van Vollen Hoven, hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus – menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti – hentinya dengan gejala – gejala lainnya.[2] Hukum memilik banyak dimensi yang sulit utuk disatukan, mengingat masing – masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) pengertian dasar.

  1. Hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak.
  2. Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan yang abstrak.
  3. Hukum dipahami sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat.[3]

Disisi lain hukum hendaknya dipandang dengan pengertian ketiga hal tersebut sehingga hukum tidak lagi menjadi sosok yang terkotak – kotak atau terfragmentasikan, maka hukum harus dilihat secara holistik.

Tujuan Hukum

Dalam literature dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum. Pertama teori etis yang mengajukan tesis bahwa hukum itu semata – mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Dengan perkataan lain, hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan. Salah seorang pendukung teori ini adalah Geny.[4]

Pertama, Menurut para penganut teori etis ini, bahwa hakikat keadilan itu terletak pada penilaian terhadap suatu perilaku atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.

Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam keadilan, yaitu justisia distributive yang menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, dan justisia commutative yang menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan yang menyamakan).

Roscou Pound melihat keadilan dalam hasil – hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarkat, berupa pengalokasian sumber – sumber daya kepada anggota – anggota dan kelompok – kelompok masyarkat.[5]

Kedua, Teori Utillitas. Penganut teori ini, antara lain Jeremy Bentham, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak – banyaknya (the greatest happiness of the greatest number). Pada hakekatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar –  besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.

Ketiga, Teori Campuran, yang berpendapat bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarkat yang teratur. Disamping ketertiban, Muhctar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda – beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarkat dan zamannya. [6]

Demikian pula Purnadi Purbacaraka dan Soerjonono Soekanto berpendapat bahwa tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern  pribadi.[7]

Secara garis besar tujuan – tujuan tersebut meliputi pencapaian suatu masyarakat yang tertib dan damai, mewujudkan keadilan, serta untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagian atau kesejahteraan.

Fungsi – fungsi Hukum

    Hoebel menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu :[8]

  1. Menetapkan hubungan – hubungan anatara para anggota masyrakat, dengan menunjukan jenis – jenis tingkah laku – tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang;
  2. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi – sanksinya yang tepat dan efektif;
  3. Menyelesaikan sengketa;
  4. Memelihara kemampuan masyrakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi – kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota – anggota masyarakat.

Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial, demikian pula hukum berfungsi sarana memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroprasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan masyarkat.

Selanjutnya, apabila penyelengaraan keadilan dalam masyarakat yan dilakukan melalui hukum dilihat sebagai institusi sosial, maka kita mulai melihat hukum dalam kerangka yang luas, yaitu dengan melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.

Hukum sebagai ideal memiliki hubungan yang erat dengan konseptualisasi kedailan secara abstrak. Dalam rangka itu maka apa yang dilakukan oleh hukum adalah untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh masyarakat kedalam bentuk yang kongkrit berupa pembagian maupun pengolahan sumber – sumber daya kepada masyarkat.

Selanjutnya Aubert sebagaiaman dikutip Gunther Teubner, menambahkan lagi fungsi hukum yang bersifat prevention to promotion, yang pararel dengan konsepnya Brockman dan Ewald, yakni socialization of law. Konsep ini pun sejalan dengan pandangan Luhman tentang konsep hukum sebagai social engineering as a political approach to law,  dan pandangan Heller yang melihat hukum setara dengan positive state.[9]

Hukum Sebagai Suatu Sistem Norma

Apapun namanya maupun fungsinya apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai suatu sistem, yaitu sebagai sistem norma. Pemahanan yang demikian itu menjadi penting, karena dalam menjalanakan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dihendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai subsistem dari suatu sistem yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya.

Oleh karena itu hukum juga dipandang sebagai suatu sistem, maka untuk dpat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Lawrence M, Friedman bahwa hukum itu terdiri dari komponen struktur, substansi dan kultur.[10]

  1. Komponen struktur;
  2. Komponen substantif;
  3. Komponen kultur;

Komponen kultur hukum ini hendaknya dibedakan antara Internal legal culture yaitu kultur hukum para lawyers and judges dan external culture yaitu kultur hukum masyarkat luas.[11]

Delapan (8) azas atau principle of legalitiy :

  1. Sistem hukum harus mengandung peraturan – peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan – keputusan yang bersifat ad hoc.
  2. Peraturan – peraturan yang telah dibuat itu harus dirumuskan.
  3. Peraturan tidak boleh berlaku surut.
  4. Peraturan – peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
  5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan – peraturan yang bertentangan satu sama lain.
  6. Peraturan – peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
  7. Peraturan tidak boleh sering dirubah – rubah.
  8. Harus ada kecocokan anatara peraturan yang diundankan dengan pelaksanaannya sehari – hari.

Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm (norma dasar), dan grundnorm pada dasarnya tidak berubah – ubah. Untuk mengatakan bahwa hukum merupakan suatu sistem norma, maka Kelsen menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis.

Hukum positif  hanyalah perwujudan dari adanya norma – norma dan rangka untuk menyampaikan norma – norma hukum. Akhirnya norma – norma yang terkandung dalam hukum positif itu pun harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling mendasar yaitu Grundnorm.

Simpulan

Bertolak dari rangkaian pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam perumusannya sebagai hukum positif harus dipahamai suatu sistem norma. Pemahaman ini penting artinya untuk menghindari terjadinya kontradiksi atau pertentanggan antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman itu semakin penting artinya, apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan (eksistensi) hukum sebagai suatu sistem norma mempunyai daya guna dalam menjalankan tugasnya di masyarkat.

2. Fungsi Cita Hukum Dalam Pembangunan Hukum Yang Demokratis

Dalam penyusunan peraturan perundang – undangan yang bersifat demokratis harus mempresentasikan peran hukum sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat. Bagi Indonesia di era orde baru tujuan pembangunan yang di cita – citakan itu sudah dirumuskan di dalam pembukaan Undang – undang Dasar 1945, untuk mewujudkan cita – cita itu, pemerintah Indonesia jua telah berusaha untuk menerapkan nilai – nilai tersebut secara konkrit ke dalam Garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan rencana pembangunan lima tahun (Repelita).

Hukum merupakan “The normative life of the state and citizens”.[12] Hukum menentukan serta mengatur bagaiamana hubungan itu dilakukan dan bagaimana akibatnya. Hukum memberikan pedoman tingkah laku, baik tingkah laku yang di larang, dibutuhkan maupun yang diijinkan.

Dalam konteks yang demikian, hukum merupakan suatu kebutuhan yang mendekat pada kehidupan sosial itu sendiri. Perkembangan hukum yang semakin tangguh dan menonjol menunjukan bahwa hukum sebagai suatu konsep yang modern, yang hendaknya tidak hanya dilihat sebagai sarana untuk pengendalian sosial, melainkan lebih dari itu sebagai sarana untuk melakukan perubahan – perubahan.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa cita hukum yang berisi patokan nilai memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam proses penyusunan peraturan perundang – undangan (RUU) yang demokratis.

Tulisan ini pun hendak menjelaskan bahw cita hukum hendaknya mewarnai seluruh bangunan hukum yang ada. Dengan kata lain, makna yang terkandung di dalam cita hukum harus dpat terwujud dalam tatanan hukum yang demokratis.

Elemen – elemen Pembentukan Hukum

Menurut Brukhardt Krems sebagaimana dikutip oleh Attamimi,[13] pembentukan peraturan perundang – undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan isi atau substansi peraturan, metoda pembentukan, serta proses dan prosedur pembentkan peraturan.

Metoda pembentukan peraturan perundang – undangan menentukan apakah suatu peraturan dapat mencapai sasaranya dengan cara sebaik – baiknya, untuk itulah maka bantuan dari sosiologi hukum, ilmu – imu sosial lainnya dan ilmu tentang perencanaan sangat diperlukan. Itu artinya, maslah pengaturan oleh hukum bukanlah semata persoalan – persoalan tentang legalitas formal yakni tentang bagaimana mengatur sesuatu sesuai dengan prosedur hukum.

Peran Produk Hukum

Hukum merupakan elemen penting bagi perkembangan politik, dan dengan demikian menjadikan hubungannya dengan kebijaksanaan pemerinta semakin jelas. Keberadaan institusi hukum merupakan indicator atau kunci pengimplementasian dari suatu kebijaksanaan. Dengan demikian, hukum merupakan suatu bagian yang integral dari kebijaksanaan.

Hukum adalah dasar dan pemberi petunjuk bagi semua aspek kegiatan kemasyrakatan, keangsaan dan kenegaraan. Rakyat Indonesia, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan kemanan maupun dalam kehidupan hukum (dalam arti sempit) harus selalu berpedoman oleh institusi yang namanya hukum.

Kehadiran hukum diharapkan dapat menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam menyelenggarakan kebutuhan – kebutuhan seluruh anggota masyarakat.

Konsep – konsep dan Bahasa Hukum

Untuk melakukan proses perencangan perundangan secara lebih baik, maka pembentukan peraturan perundang – undangan hendaknya menyadari dan memahami secara sungguh – sungguh dua hal pokok, yaitu konsep dan bahasa, terutama bagaimana mencari kata – kata dan konsep yang tepat.

Hal – hal yang sifatnya mendasar dan konseptual dari suatu produk hukum itu hendaknya ditelaah dan dikaji dari sudut pandang, baik sudut pandang filsafat hukum, teori hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum maupun dogmatik  hukum.

Hukum Sebagai Suatu Sistem Norma

Pengertian sistem sebagaimana didefinisikan oleh beberapa ahli, antara lain Bertalanffy, Kenneth Building, ternyata mengundang implikasi yang sangat berarti terhadap hukum, terutama berkaitan dengan aspek : (1) keintegrasian, (2) keteraturan, (3) keutuhan, (4) keterorganisasian, (5) berhubungan komponen satu sama lain, dan (6) ketergantungan komponen satu sama lain.

Oleh karena hukum juga dipandang sebagai suatu sistem, maka untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Berbagai pengertian hukum sebagai sistem hukum dikemukakan anatara lain oleh Lawrence M. Friedman, bahwa hukum itu terdiri dari komponen struktur, substansi dan kultur. [14]

  1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut..
  2. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkunan (Openness the system intercts with a larger system, namely its environment).
  3. Bekerjanya bagian – bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (Transformation the working of the parts creates something of value).
  4. Masing – masing bagian harus cocok satu sama lain (Interrelatedness the various parts must fit together).
  5. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (Control mechanis – there is a unifying fore that holds the system together).

Menurut Stufenbau theory dari Kelsen, norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Proses pembentukan norma – norma itu dimulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah itu disebut sebagai proses konkrititasi.

Cita Hukum : Kunci Pembentukan Hukum

Cita hukum dapat dipahami sebagai konstrksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengerahkan hukum pada cita – cita yang diinginkan masyrakat. Tanpa cita hukum yang dihasilkan itu akan kehilangan maknana.

Dengan demikian, setiap proses pembentukan dan penegakan serta perubahan – perubahan yang hendak dilakukan terhadap hukum tidak boeh bertentangan dengan cita hukum yang telah disepakati.

Cita hukum haruslah dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pebentukan peraturan perudang – undangan. Disini, aspek nilai yang terkandung dalam cita hukum semakin penting artinya, dan secara instrumental berfungsi, bagi pembuat kebijaksanaan.

Dalam pembuatan peraturan perundang – undangan, dan dalam proses perwujudan nilai – nilai yang terkandung dalam cita hukum kedalam norma – norma hukum, sangat tergantung pada tingkat kesadaran dan penghayatan dari para pembentuk peraturan perundang – undangan. Memahami huum melalui pendekatan sistem sebagaimana di uraikan, sekaligus mengisyaratkan bahwa hukum itu merupakan instrumen yang sarat akan nilai. Oleh karena itu, kita berkeinginan untuk mencari model penyusunan peraturan perundang – undangan yang demokratis, dengan demikian kita tidak hanya berkuat pada segi teknik yang ditopang, oleh ilmu hukum yang bersifat dogmatic saja.Model

Pembentukan Hukum Yang Demokratis

Kita perlu perlu menempatkan  masalah yang sedang dihadapi bangsa ini dalam konteks pemahaman secara sosiologis maupun politis sekaligus. Dalam pengertian bahwa sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan suatu peraturan harus sudah melalui tahapan sosio – politis secara final.

Dengan masukan tahapan sosiologis dan politis sebagai bagian dari kegiata penysunan produk hukum yang demokratis, sesungguhnya dapat memberikan pelajaran kepada kita bahwa ternyata penyusunan produk hukum bukan sekedar suatu proses yuridis.

Pertama, secara makro proses penyusunan suatu produk hukum dalam tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan ditentukan oleh tersedianya bahan – bahan di dalamnya. Apabila problem yang timbul terebut dapat dimasukan dalam agenda pemerintah atau sebagai policy problem, maka perbincangan itu akan memasuki tahapan kedua yang disebut tahapan politis.

Tahapan politis inilah yang sangat menentukan, apakah ide atau gagsan itu perlu dilanjutkan atau diubah untuk selanjutnya memasuki tahapan yuridis.

Proses Transformasi Sosial dalam Hukum

Didalam proses mengidentifikasi dan merumuskan problem kebijaksanaan sangat ditentukan oleh para pelaku yang terlibat, baik secara individu maupun kelompok di dalam masyarakat.

Proses – proses transformasi  dari keinginan – keinginan sosial menjadi peraturan – peraturan perundang – undangan baik dalam konteks politis dan sosiologis, tidak hanya terjadi pada saat pembentukan suatu peraturan.

Pihak – pihak yang terlibat dalam proses tersebut sehingga tergantung pada sistem politik Negara yang bersangkutan. Proses yang cukup panjang itu merupakan proses transformasi dan beberapa tuntutan kedalam suatu keputusan otoritatif, dan hal ini membutuhkan dukungan seluruh masyrakat.[15]

Bergulirnya proses produksi hukum sebagaimana diuraikan di atas sekaligus mengisyaratkan, bahwa proses penyusunan peraturan perundang – undangan yang demokratis sangat ditentukan dan diwarnai oleh struktru masyarakat, sistem politik dan landasan nilai suatu Negara.

Simpulan

Keadaaan hukum tidak dapat dipahami terlepas dari konteks sosial dan konteks politis. Mencari model penyusunan peraturan perundang – undangan yang demokratis, diharapkan dapat menghasilkan kondisi hukum yang responsif sehingga dapat menjawab berbagai tuntutan di masyarakat. Hal ini dapat tercapai bila legal and political aspirations integrated, acsess enlarged by integration of legal and social advocacy. Disamping itu, penyusunan peraturn perundang – undangan yang demokratis membutuhkan partisipasi, problem centered dan pendelegasian yang lebih luas.

3. Pergesaran Paradigma Hukum : Dari Paradigma Kekuasaan Menuju Paradigma Moral

Gerakan reformasi demi masa depan bangsa dan Negara kita, perlu didukung oleh semua komponen bangsa terutama kaum intelektual akademisi dengan mengembangkan pokok – pokok pikiran ide – ide, konsep dan pemikiran yang positif agar gerakan reformasi ini dapat mencapai tujuan yang dapat dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.

Masyarakat madani disini adalah suatu bentuk masyarakat ideal yang didalamnya tidak ada diskriminasi, adanya kebebasan bertindak dalam segala hal berkaitan dengan masalah kemasyrakatan. Sejalan dengan itu, Soetandyo Wignyosoebroto (1977) berpendapat bahwa masyarakat warga adalah suatu masyarakat ideal yang didalamnya hidup manusia yang diakui berkedudukan sama dalam soal pembagian hak dan kewajiban, warga – warga yang berkesetaraan, berkebebasan dan berkeberdayaan.

Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan kehidupan hukum di Indonesia dan menjelaskan hubungan sistem hukum dengan sistem politik. Disamping itu, coba menjelaskan pentingnya perubahan paradigm pembangunan hukum agar lebih demokratis dan dapat merespon satu perubahan – perubahan yang terjadi dalam agenda globalisasi.

Dinamika Pembangunan Di Indonesia

Lahirnya Undang – undang No. 15 dan Undang – undang No. 16 Tahun1969 masing – masing tentang Pemilu dan tentang Susduk MPR/DPR/DPRD pada masa awal orde baru merupakan sebagian dari instrument hukum yang dibuat untuk mendukung penciptaan lembaga eksekutif yang kuat. Hal ini dapat dicermati dari adanya kemungkinan masuknya tangan eksekutif dilembaga legislatif melalui kewenangan pengangkatan atas sebagian anggota lembaga perwakilan rakyat serta penetapan lembaga recall bagi anggota DPR / MPR.

Pertama, strategi dan implementasi pembanguna dengan model pertumbuhan, ternyata membawa implikasi yang terlalu jauh, tidak berjalannya trickle down effects, melebarnya jurang pemisahan antara strata sosial dan antar daerah, kehancuran sektor – sektor usaha kecil termasuk sektor industry rumah tngga dan sektor informal.

Kedua, tumbuh dan berkembangnya rejim – rejim yang represif, yang menurut Herbert Feith disebut sebagai Repressive Developmentalist Regimes, yang cendrung korup atau berkembangnya korupsi, kolusi, manpulasi   dan nepotisme, hapusnya partisipasi politik rakyat, terbatasnya kebebasan pers, sangat minimnya peran serta masyarakat dalam proses – proses pengambilan keputusan, bahkan pelanggaran hak asasi manusia, dan perampasan hak – hak rakyat semakin mengemuka.

Tipologi Kekuasaan dan Hukum Jaman ORBA

Tatanan hukum yang dikembangkan menjadi sangat elitis dan konservatif, karena proses pembentukannya sangat sentralistik dan tidak partisipatif. Otonomi politik lebih mendominasi bila dibandingkan dengan yang dimiliki oleh hukum. Akibatnya, hukum sering dikesampingkan demi kepentingan politik, terutama bila Negara disibukan oleh pembenaan politik secara mendasar seperti menjaga status quo dan stabilitas.

Dengan demikian, apa yang merupakan hukum adalah apa yang dkehendaki oleh kekuasaan politik dan penguasa dan kepentingan yang diinginkannya. Tipe hukumnyapun akhirnya bersifat represif, yang menghendaki tingkat kepatuhan warga yang mendekati mutlak.

Besarnya porsi kekuasaan birokasi pemerintahan di Indonesia dan sulit dikontrol merupakan power house state, dimana para pejabat pimpinan cendrung menjadi kepala bukan manajer. Seiring dengan proses pembangunan melalui model pertumbuhan pada masa orde baru itu, intensitas kegiatannya kapitalis semu terus berkembang sedemikian rupa, karena rezeki yang diperebutkan selama masa orde baru jauh lebih besar dibandingkan dengan masa – masa sebelumnya.

Mencermati dinamika pembangunan pada umumnya dan pembangunan tatanan hukum sebagaimana di uraikan di atas, maka dari perspektif empiric data dikatakan, bahwa produk hukum yang dihasilkan sesungguhnya tidak terlepas dari lingkungannya, baik lingkungan sosial, politik, dan ekonominya.

Tatanan Hukum Pasca Soeharto

Setelah lengsernya Soeharto 20 Mei 1998 maka estafet beralih ke tangan Habibie dengan Kabinet reformasi pembangunannya mecoba untuk merespons tuntutan dan aspirasi rakyat. Namun, pada kenyataannya aspirasi rkyat untuk menuju suatu perubahan secara total sulit diwujudkan.

Paradigma lama dan cara – cara lama tetap melekat hampir diseluruh kelembagaan yang ada. Pembentukan peraturan perundang – undangan baru tidak dpat dilakukan secara cepat, lebih disebabkan pola pikir para aktor yang sulit untuk melakukan perubahan terhadap cara lama yang mereka pakai selama ini.

Perubahan paradigma dilanjutkan dengan pembentukan perundang – undangan disertai penegakan hukum secara konsisten dengan memperhatikan landasan filosofi, yuridis dan sosiologi.

Paradigma Kekuasaan dan Tatanan Hukum

Hukum yang dilandasi oleh paradigma kekuasaan menghadirkan hukum yang tidak demokratis, yang suatu sistem hukum totaliter. Tatanan hukum yang demikian itu juga menunjukan adanya hierarki, tetap hierarki tersebut tidak didasarkan pada logika hukum melainkan logika kekuasaan. Di titik inilah keabsahan suatu norma tidak secara otentik didasarkan pada norma lain, melainkan didasarkan pada pendapat dan persetujuan dari suatu norma bayangan yang sebetulnya isinya adalah kekuasaan.

Realitas seperti tiu menunjukan bahwa hukum itu bukanlah institusi yang dpaat dilepaskan dari konteks sosialnya. Negara hukum di Indonesia akan terwujud sangat tergantung pada bangsa ini sendiri.

Reformasi dan Pergesaran Paradigma Hukum

Menyadari segala kelemahan penataan hukum pada masa lalu, maka agenda pertama dan terpenting adalah mengembalikan atau memulihkan otentisitas hukum. Langkah ini penting dilakukan, karena hukum saat ini menjadi sangat terhambat dalam usahanya untuk mengatur dan memberikan perlindungan dan keadilan. Bagi Indonesia sendiri, tujuan hukum itu telah dirumuskan secara tegas dalam Undang – undang Dasar Negara Replublik Indonesia 1945.

Pertama, hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi hukum itu sendiri harus rasional. Dan, hukum yang rasional itu adalah yang benar – benar mapu mewujudkan tujuan kehadirannya di lingkungan sosial.

Kedua, untuk menjamin agar karya hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya, harus didukung oleh tindakan yang efesien oleh perangkat – perangkat hukumnya.

Ketiga, tentang pentingnya memasukan substansi ke dalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan pengaruh struktur sosial masyarakat, karena hukum seharusnya mewujudkan tujuan – tujuannya.

Disini berarti, reformasi semestinya memiliki visi yang jelas apabila tidak ingin sekadar mengubah hukum secara parsial. Mungkin tidak ada cara yang lebih bagus dan tepat untuk menggambarkan masyarakat Indonesia sekarang ini sedang berubah secara cepat dan cukup mendasar.

Akibat kurangnya kesadaran akan muatan nilai tersebut sebagai satu kesatuan atau sistem nilai dalam peraturan perundang – undangan, sehingga penentu kehidupan sosial pun sering tersa kurang jelas. Bahkan, sering dirasa kurang adil karena muatan materinya bersifat interpretative atau hanya memuat masalah – masalah pokoknya saja, dan kemudian pemerintah diberi ruang gerak yang luas untuk membuat penafsiran, termasuk terhadap berbagai peraturan pelaksanaan yang lebih rendah.

Transformasi Hukum Dalam Era Global

Problem yang paling mendasar adalah mendominasinya paradigma kekuasaan, yang mengakibatkan hukum tidak mampu memainkan peran yang sesungguhnya sebagi alat untuk mewujudkan kesejahteraan.

Berbicara tentang transformasi sosial, Umar Kayam mengartikan pembangunan sebagai suatu proses pengalihan total menuju suatu sosok baru yang semakin mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu proses perubahan.

Kiranya transformasi bagi Indonesia tidaklah sepenuhnya demikian. Transformasi kita kehendaki juga bukan melalui suatu proses dialektika yang terus menerus diilhami oleh pertentangan kelas yang berebut penguasaan alat produksi untuk akhirnya sampai puncak dialektika masyarakat yang tak berkelas yang langgeng dan abadi .

Max weber menyimpulkan bahwa transformasi masyarkat eropa menjadi masyarakat kapitalis karena di dalam tubuh masyrakat eropa sendiri sudah terkandung potensi, ingredients budaya yang mendorong lahirnya semngat kapitalis tersebut. Ciri – ciri dari transformasi Weberian adalah munculnya kapitalistik.

Simpulan

Akhirnya untuk mengaktualisasikan tujuan masyarakat menuju pembentukan masyarakat warga atau masyarakat madani yang berdasarkan cita hukum Pancasila, maka perubahan paradigma dalam tatanan hukum perlu diwujudkan dalam setiap tahap pekerjaan hukum. Namun, tugas berat tersebut perlu di dukung oleh sumber daya manusia yan di didik dengan kurikulum yang berorientasikan kepada terwujudnya cita – cita bangsa. Tanpa melibatkan unsur pendidikan, khususnya pendidikan hukum, mustahil reformasi hukum yang berparadigma moral dapat berhasil.

Demikian pula, perlu penataan kembali secara simultan bidang ekonomi, politik, dan membangun budaya hukum yang dilandasi oleh nilai – nilai dasar bangsa yang terumus secara normatif. Selain itu, dalam mengiplementasikan niai – nilai dasar itu pun tidak boleh mengabaikan aspek ralien der Gesetzgebung atau modal sosial yang telah dimiliki bangsa Indonesia baik di tingkat domestic maupun internasional. Langkah ini penting dilakukan, karena masing – masing sub sistem tersebut saling merasuki secara intensif. Oleh karena itu, hukum hendaknya benar – benar memiliki fungsi sebagai pengintegrasi yang menerima, mengolah, dan menghasilkan berbagai masukan dari subsistem – subsistem tersebut.

 

PRANATA HUKUM Sebuah Telaah Sosiologis

PROF. Dr. Esmi Warassih.,SH, MS

1. Peranan Kultur Dalam Penegakan Hukum

Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep – konsep yang abstrak. Sekalipun abstrak, tapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial sehari – hari. Oleh sebab itu perlu adanya suatu kegiatan untuk mewujudkan ide – ide tersebut ke dalam masyarakat.

Ketika fokus pembicaraan kita telah menyangkut penegakan hukum, maka ketika itu pulla pembicaraan kita bersinggungan dengan banyak aspke lain yang melingkupinya. Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada di antara berbagai faktor (interchange). Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat antara lain meliputi tingkah laku warga masyarakat.

Itu artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan faktor – faktor non hukum lainnya, terutama nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang selanjutnya disebut dengan kultur hukum.

Bertolak dari uraian di atas, maka persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian disini adalah, pertama, bagaimanakah hubungan antara hukum dengan struktur masyrakat? Kedua, fungsi – fungsi apakah yang dapat dijalankan oleh hukum? Dan ketiga, bagaimana peranan kultur hukum terhadap bekerjanya hukum.

Hukum Sebagai Suatu Sistem

Untuk dapat memahami persoalan yang berkaitan dengan hukum secara lebih baik, maka hukum hendaknya dilihat sebagai suatu sistem.

Pemahaman sistem yang demikian itu mengisyaratkan, bahwa persoalan hukum yang kita hadapi sangat kompleks. Di satu sisi, hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai yang secara kesuluruhan dipayungi oleh sebuah norma dasar yang disebut grundnorm atau basic norm.

Dari perspektif yang lain, hukum merupakan bagian dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, hukum merupakan salah satu subsistem diantara subsistem – subsistem sosial lain, seperti sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Hukum bergerak di antara dua dunia yang berbeda, baik dunia nilai maupun dunia sehari – hari (realitas sosial). Akibatnya sering terjadi ketegangan di saat hukum itu diterapkan. Ketika hukum yang sarat dengan nilai – nilai itu hendak di wujudkan, maka ia harus berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan sosialnya.

Komponen – komponen Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Saat ini hukum bukan hanya  dipakai untuk mempertandingkan pola – pola hubungan serta kaidah – kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima sebagai konsep yang modern memiliki fungsi untuk melakukan suatu perubahan sosial. Hukum bukan lagi menggunakan pola – pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada, tetapi juga berorientasi kepada tujuan – tujuan yang diinginkan, yaitu menciptakana pola – pola perilaku yang baru.

Hukum senantias dibatasi oleh situasi atau lingkungan dimana ia berada, sehingga tidak heran kalau terjadi ketidak cocokan antara apa yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein),

Selanjutnya, apabila kita melihat penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan – tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses tersebut selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta masyarakatnya.

Apabila kita hendak melihat hukum sebagai suatu sistem sebagaimana telah diuraikan terhadulu, maka penegakan hukum sebagai suatau proses akan melibatkan berbagai macam komponen yang saling berhubungan, dan bahkan ada yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup erat.

Komponen – komponen personel, dalam hal ini menyangkut manusianya, mendapat perhatian juga dalam tulisan ini. Komponen manusia adalah mereka yang membuat, melaksanakan maupun yang terkena sasaran peraturan.

Melalui model tersebut dijelaskan bahwa setiap undang – undang sekali dikeluarkan akan berubah baik melalui perubahan formal maupun melalui cara – cara yang ditempuh birokasi ketika bertindak. Setiap peraturan hukum selalu menghendaki sebagaimana seseorang itu diharapkan bertindak. Dari bagan tersebut menunjukan bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan – ekuatan lainnya yang muncul dalam lingkungan.

 Hukum dan Struktur Masyarakat

Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya, karena hukum itu sendiri merupakan sarana pengatur masyarakat dan bekerja di dalam masyarakat. Itulah sebabnya, hukum tidak terlepapas dari gagasan maupun pendapat – pendapat yang hidup di kalangan anggota masyarkat.

Hubungan fungsional anatara sistem hukum dan masyaraktnya diuraikan  oleh Emile Durkheim yang membedakan anatara masyarakat dengan Solidaritas mekanik dengan masyarakat dengan solidaritas organik. Masyarakat  dengan solidaritas mekanik mendasarkan diri pada sifat kebersamaan antara anggota – anggotanya.

Hubungan antara perkembangan hukum dengan perkembangan masyarakat ini juga diuraikan oleh H.L.A. Hart. Didalam masyarakat tipe yang pertama, kita tidak menemukan peraturan yang terperinci  dan resmi. Sedangakan di dalam tipe masyarakat yang kedua, sudah ditemui adanya difrensiasi dan isntitusionalisasi di bidang hukum seperti rules of recognition yang menentukan apa yang merupakan hukum rules of change yaitu bagaimana melakukan perubahan, dan rules of adjudication yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa. Dengan mengajukan beberapa model tersebut dapatlah dikatakan bahwa, perkembangan masyarakat menentukan tipe hukum mana yang berlaku.

Hukum modern yang memiliki ciri formal dan rasional hanya dapat terlaksana, apabila ada dukungan administrasi yang juga semakin rasional pula. Perkembangan hukum yang diikuti dengan perkembangan masyarakat, tampaknya tidak terjadi dalam masyarakat Indonesia.

Semestinya hukum yang dianut di Indonesia harus sarat dengan nilai – nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalau demikian halnya, maka hukum bolehlah disebut sebagai sistem nilai. Apabila institusi hukum dikaitkan dengan latar belakang susunan masyarakat dan nilai – nilai yang dianutnya, maka kita mulai berhadapan dengan pilihan mengenai nilai – nilai apa yang harus diwujudkan oleh hukum.

Dimensi nilai yang dipersoalkan tersebut bukan saja dijumpai saat peraturan itu hendak diterapkan malainkan timbul sejak saat peraturan itu hendak dibuat. Kultur hukum merupakan sikap – sikap dan nilai – nilai, keyakinan yang dimiliki oleh masyarkat yang berhubungan dengan hukum, dan lembaga – lembagnya, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Peranan nilai dan sikap merupakan gejala universal, sehingga di Negara – Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, mudah terjadi ketidakcocokan antara nilai – nilai yang telah dipilih untuk diwujudkan dalam masyarakat dengan nilai – nilai yang sudah mapan dan telah dihayati oleh anggota masyarakat.

Simpulan

Berdasarkan uraian terdahulu, dapatlah disimpulkan bahwa faktor hukum memegang peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Kultur hukum berfungsi untuk menjembatani sistem hukum dengan tingkah laku masyarakatnya. Seseorang menggunakan atau tidak menggunakan, dan patuh antara tidak patuh terhadap hukum sangat ditentukan oleh nilai – nilai yang dihayati oleh angota masyarakatnya.

2. Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum

Hampir setiap bidang kehidupan sekarang di atur oleh peraturan – peraturan hukum. Melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum menelusuri hampir semua bidng kehidupan manusia. Campur tangan hukum yang semakin luas ke dalam bidang penerapan hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan.

Bagi suatu masyarakat yang sedang membangun hukum selalu dikaitkan dengan usaha – usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Fungsi hukum tidak cukup hanya sebagai kontrol sosial, melainkan lebih dari itu. Keadaan demikian itu seolah – olah enggambarkkan bahwa sesungguhnya fungsi hukum sekarang ini sudah mengalami pergeseran, yakni secara lebih aktif melakukan perubahan – perubahan yang di inginkan.

Dengan demikian, segala kebijaksanaan pemerintah dapat dirumuskan dengan jelas dan terbuka melalui institusi yang namanya hukum itu. Dengan demikian, para pengambil kebijaksanaan dapat dengan leluasa berbuat apa saja, termasuuk menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang modern rasional sebagai saluran legitimasi.

Hukum Modern dan Budaya Hukum

Sesungguhnya, penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai keadaan masyarakat sebagaimana dicita – citakan itu adalah suatu konsepsi yang modern. Menurut Marc Galanter, sistem hukum yang modern mempunyai ciri – ciri tertentu. Beberapa dianataranya adalah bersifat territorial, tidak bersifat personal, universitas, rasional, hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebaai sarana untuk menggarap masyarakat.[16]

Saat ini memang tampak ada kecenderungan yang cukup kuat untuk menggunakan hukum sebagai penyalur kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat pedesaan. Disini, hukum dipakai sebagai landasan kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan.

Persoalannya adalah bagaimana hukum itu dibuat agar dapat mewujudkan tujuan yang telah diputuskan itu? Persoalan semacam inilah yang mengisyaratkan agar para pembuat hukum perlu bersungguh – sungguh untuk mengikuti persyaratan – persyaratan tertentu.

Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai – nilai tersebut dapat menimbulkan hasil – hasil yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari isi peraturan itu. Baik James C.N Paul maupun Clarence J. Dias berpendapat, bahwa perdebatan nilai – nilai yang terkandung di dalam hukum nasional dan nilai – nilai yng berlaku dalam masyarakat desa seringkali menyulitkan mereka untuk dapat mengerti ketentuan – ketentuan hukum nasional yang berlaku.

Kegagalan Hukum Modern : Kasus Bagi Hasil

Hubungan antara kedua belah pihak, yaitu pihak yang satu menyerahkan tanahnya untuk digarap oleh pihak yang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi. Sistem bagi hasil ini disebut maro, mertelu yaitu institusi bagi hasil tradisional yang telah dikenal dan hingga saat ini masih dijalankan di dalam masyarakat.

Faktor yang agak menarik dalam penelitian ini adalah kebiasaan untuk memberi suatu kepada pemilik tanah agar dapat memperoleh tanah garapan tetap dilakukan, walaupun undang – undang bagi hasil melarang perbuatan tersebut

Kegagalan Hukum Modern : Kasus Perkawinan

Komunikasi hukum merupakan salah satu faktor yang amat penting disamping faktor – faktor lainnya dalam membentuk pemahaman, penerimaan dan pentaatan masyarakat pada isi undang – undang. Suatu ilustrasi yang menarik ditampilkan disini yaitu tentang pelaksanaan Undang – undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Bagaimana mungkin rakyat di desa temmpat penelitian itu mengetahui bahkan mematuhi isi undang – undang perkawinan, sedang pengetahuan kepala desa yang dapat menyebut batasan umur kawin dengan tepat hanya menacapai 25.38%. Selebihnya, bahkan sebagian besar kepala desa tidak mengetahui dengan pasti ketentuan batas umur kawin. Penelitian ini menemukan juga, bahwa kebiasaan mengawinkan anak dibawah umur 16 tahun tetap saja dilakukan oleh masyrakat desa di wilayah Kabupaten Bangkalan. Sekitar 64.63% perkawinan di bawah umur ditemukan di sebagian besar desa – desa wilayah Kabupaten Bangkalan. Oleh karena itu, pengemmbangan berbagai strategi untuk menenamkan konsep – konsep  dan persepsi baru perlu dilakukan untuk mempermudah dan membantu masyarakat beradaptasi dengan realitas baru itu.

Harus disadari bahwa kebudayaan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam kehidupan manusia.

Hukum Sebagai Karya Kebudayaan

Dengan demikian, kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan – tujuan dan nilai – nilai tertentu. Artinya, kebudayaan merupakan suatu blue of behavior yang memberikan pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Nilai sosial dan budaya tersebut berperan sebagai pedoman dan pendorong bagi perilaku manusia di dalam proses interaksi sosial.

Hukum merupakan konkretisasi niai – nilai yang tebentuk dari kebudayaan suatu masyrakat. Oleh karena setiap masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan, maka hukum pun selalu ada di setiap masyarakat, dan tampil dengan kekhasannya masing – masing.

Komponen Budaya Hukum

Daniel S.Lev di dalam karangannya Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia  menguraikan tentang sistem hukum dan budaya hukum. Menurut Lev sistem hukum menekankan pada prosedur tetapi tidak menjelaskan tentang bagaimana sesungguhnya orang – orang itu menyelesaikan maslahnya di dalam kehidupan sehari – hari. Sedangkan komponen substantive dari budaya hukum itu terdiri dari asumsi – asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber – sumber di dalam masyarakat, terutama mengenai apa yang adil dan tidak menurut masyarakat, dan sebagainya. Budaya hukum merupakan unsur yang penting untuk memahami perbedaan – perbedaan yang terdapat di antara sistem hukum yang satu dengan yang lainnya.

Menuju Efektivitas Hukum

Dalam setiap usaha merealisasikan tujuan pembangunan, maka sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat dikatakan efektif bila perilaku – perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang teleh ditentukan di dalam aturan – aturan hukum yang berlaku.

Hukum yang dipakai sebagai sarana untuk merubah tingkah laku, tentunya mengandung nilai – nilai yang berbeda dengan nilai – nilai yang telah dikenal oleh masyarakat terutama masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, komunikasi hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar hukum berlaku efektif.

Melembagakan Nilai Hukum Baru

Baik kehadiran udang – undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, undang – undang perjanjian bagi hasil atau apa pun produk hukum yang dihasilkan, pada akhirnya menuntut agar anggota – anggota masyarakat sebagai adresat hukum bertingkah laku sesuai dengan makna undang – undang tersebut.

Untuk dapat menanamkan nilai – nilai baru sehingga dapat melembaga sebagai pola – pola tingkah laku yang baru di masyarakat, maka perlu adanya proses pelembagaan dan internalisasi dalam rangka pembentukan kesadaran hukum masyarakat.

Sistem pengawasan yang rapi harus pula dikembangkan, serta usaha – usaha untuk menyadarkan mereka tentang unsur – unsur baru tersebut ditanamkan dan ditegaskan. Panjang atau pendeknya jangka waktu yang dibutuhkan untuk proses penanaman unsur – unsur baru itu juga ikut menentukan keberhasilannya.

Max Weber “Orang tak akan mungkin berhasil mencapai sesuatu yang mungkin dicapai, kecuali apabila dia tanpa putus – putusnya berani mencoba menjangkau hal – hal yang tampaknya tak mungkin dicapai”.

3. Pembinaan Hukum

Membina kesdaraan hukum adalah suatu tuntutan pembaharuan sosial yang dewasa ini menjadi perhatian pemerintah dan mulai digalakan dalam berbagai usaha pembangunan.

Terminologi Hukum

Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum masyarakat merupakan semacam jembatan yang menghubungkan antara peratran – peraturan hukum dengan tingakah laku hukum anggota masyarakatnya.

Menurut Sunaryati Hartono, betapapun kesadaran hukum itu berakar di dalam masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum yang hidup di dalam masyarkat. Dengan kata lain, kesadaran hukum merupakan suatu pengertian yang menjadi hasil ciptaan para sarjana hukum.

Sikap Moral : Kunci Kesadaran Hukum

Dalam proses bekerjanya hukum, setiap anggota masyarakat dipandang sebagai adressat hukum. Sebagai pemegang peran ia diharapkan oleh hukum memenuhi harapan – harapan tertentu sebagaimana dicantumkan di dalam peraturan – peraturan. Dengan demikian, anggota masyarakat diharapakan untuk memenuhi peran yang tertulis di situ.

Sudah cukup banyak penelitian yang menemukan bahwa kesadaran hukum masyarakat terhadap  peraturan – peraturan hukum yang dibuat oleh Negara masih jauh dari harapan. Demikian pula, para sosiolog modern yang berorientasi empiris cenderung berpendapat bahwa kekuatan pokok kontrol sosial itu terletak pada adanya kaidah – kaidah kelompok yang telah diresapi masyarakat.

Jadi, jelaslah bahwa masalah kesadaran hukum ini timbul apabila nilai – nilai yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu merupakan nilai – nilai yang baru.

Motivasi Bertingkah Laku

Menghadapi produk hukum yang cenderung memasukan unsur – unsur baru itu, apakah seorang pemegang peran akan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum seperti itu atau tidak, sangat tergantung pada tiga variable utama. Variable – variable itu antara lain : (1) apakah normanya telah disampaikan; (2) apakah normanya serasi dengan tujuan – tujuan yang diterapkan bagi posisi itu ; (3) apakah si pemegang peran digerakan oleh motivasi yang menyimpang.

Ciri yang demikian ini mengandung arti bahwa fungsi hukum tidak hanya sebagai kontrol sosial melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan suatu masyarakat baru yang dicita – citakan.

Faktor Penentu Kesadaran Hukum

Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa tindakan yang akan dilakukan oleh warga Negara sebagai responnya terhadap peraturn – peraturan hukum sangat tergantung dari isi norma hukum itu sendiri, sanksi – sanksinya, aktivitas para pelaksana hukum serta semua faktor – faktor non yuridis yang bekerja atas dirinya.

Salah satu sumber bagi tidak ditaatinyya suatu peraturan adalah faktor inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum di samping faktor komunikasi hukumnya juga.

Pertimbangan Pembuatan Hukum

Kita tidak dapat begtu saja mengeluarkan peraturan hukum tanpa menyediakan fasilitas atau sarana yang dapat menunjang terlaksanannya peraturan tersebut. Itu berarti, faktor – faktor yang diperlukan untuk mewujudkan cita – cita sebagaimana tertuang dalam peraturan hukum tersebut perlu dipersiapkan dengan baik. Artinya apa yang disebut sebagai undang – undang itu hanyalah sekedar kerangka atau pedoman bertindak, dan oleh karena itu masih harus dilengkapi dengan segala macam sarana yang dibutuhkan agar dapat dijalankan dengan semestinya.

Pembinaan Kesadaran Hukum

Pada dasarnya kesadaran hukum itu merupakan kontrol agar hukum yang telah dibuat itu dapat dijalankan dengan baik di dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya usaha – usaha ke arah pembinaan kesadaran hukum masyarakat.

Selain tu, para pembuat undang – undang perlu menyadari bahwa dengan mengeluarkan peraturan hukum itu tidak berarti pekerjaan telah selesai. Selanjutnya, harus disadari pula bahwa hukum itu adalah ketentuan – ketentuan yang tidak personal sifatnya. Dengan demikian, masyarakat akan menyesuaikan tingkah lakunya dengan keadaan tersebut.

Masalah pembinaan kesadaran ini menjadi penting artinya bila kita bicara soal hukum sebagai konsep yang modern. Kesadaran untuk memerlukan hukum sebagai sarana yang sengaja dipakai untuk mencapai tujuan – tujuan yang kita kehendaki dinyatakan pula dalam salah satu keputusan seminar hukum nasional ke III pada tahun 1974 di Surabaya. “ Perundang – undangan terutama dalam masyarakat dinamis dan yang sedang berkembang, merupakan sarana untuk merealisis kebijaksanaan – kebijaksanaan Negara dalam bidang – bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dan pertahanan pembangunan nasional.


[1]  Sudikno Mertokusumo,  Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberti, 1986, halaman 37.

[2]  C. Van Vollen Hoven,  Penemuan Hukum Adat, Jakarta : Penerbit Djambatan, 1981, hlaman 6.

[3]  Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung:Penerbit Alumni, 1986 halaman 5-6.

[4] Sudikno Mertokusumo, op.cit, halaman 57.

[5] Satjipto Rahardjo, op.cit, 1986, halaman 50.

[6] Ibid, halaman 50.

[7] Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung ; Alumni, 1978, halaman 67.

[8] Edwin M.Schur, Law and Society: A Sociological View, New York: Random House 1968, halaman 79-82.

[9] Gunther Teubner, The Transformation of Law in Welfare State, Dilemmas of Law in the Welfare State, Walter de Gruyter & Co, Berlin, 1985, halaman 5.

[10] Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York : Russel Sage Foundation, 1986, halaman 17.

[11] Ibid, halaman 17.

[12] Steven Vago, Law and Society, Prentice Hall Inc, 1981 hal. 9. P.S. Atiyah, Law and Modern Society. New York : Oxford University Press, 1983.

[13] A. Hamid S. Attamimi, “Proses Pembuatan Peraturan Perundanga – undangan Ditinjau Dari Aspek Filsafat”, Materi Kursus Penyegaran Perancangan Perundang – undangan, Semarang, 1990.

[14] Lawrence M. Friedman, The Legal System : A Social Science Perpective, New York: Russel Sage Foundation, 1986, halaman 17.

[15] Christopher Ham & Michael Hill, The Policy Process in The Moedrn Capitalist State. N.Y. The Harvester  Press, 1985.

[16]  Marc Galanter, “Moderenisasi sistem hukum dan Moderenisasi, Dinamika pertumbuhan”, dalam Myron Weina, Voice Of America Forum Lectures, Halaman 102 – 105.

Image

Leave a comment